Kamis, 18 September 2008

Tragedi Pasuruan:

Miskin di Negeri yang Katanya Kaya


Penggalan parade kemiskinan akhir-akhir ini sering kita saksikan, antrian panjang penerima BLT, antri sembako, antri minyak tanah dan terakhir tragedi Pasuruan. Kemiskinan ternyata begitu dekat hadir disekeliling kita. Harus diakui kita memang bangsa yang miskin, bahkan mungkin teramat miskin. Miskin materil, moril dan spirituil. Itu kenyataan adanya.

Ketika beberapa pakar mengatakan bahwa sistem kita amburadul dalam pengaturan ZIS, dia mungkin melupakan bahwa bagaimana tidak akan amburadul kalau itu dibentuk dan dijalankan oleh otak-otak yang miskin dan amburadul. Sistem akan berjalan sesuai bila dirancang dan dilaksanakan oleh orang-orang yang otaknya tidak miskin dan tidak amburadul. Kita melihat di TV, bagaimana sebuah Perundangan di negeri ini, banyak lahir dari kepentingan kelompok tertentu dan dari kekuatan duit tentunya.

Negeri ini tak ubahnya menjadi lingkaran permainan kemiskinan, orang miskin materi menjadi objek empuk orang kaya namun miskin moral yang juga jadi perahan orang-orang yang mengaku kaya spiritual. Jangan harap orang orang miskin di negeri ini akan lepas dari jerat kemiskinan, bila kendali sistem dipegang oleh orang-orang yang miskin moral dan spiritual, ........kecuali anak-anak yang luar biasa hebat dan beruntung, maka anak-anak yang lahir dari keluarga miskin akan sangat sulit bersaing dengan anak super bodoh yang kaya..... sekolah saat ini lebih banyak diperuntukan bagi orang kaya, tanya pada SLTA favorit, berapa banyak siswa yang diterima disekolah itu yang berasal dari persaingan otak? Biasanyatak lebih 3 dari 8 kelas, sisanya adalah jalur khusus yang bisa diperoleh dengan duit. Anak orang miskin akan sulit jadi dokter.... karena kita tahu, berapa ratus juta uang yang harus tersedia untuk masuk fakultas ini.

Kemiskinan juga menjadi mainan asyik orang orang yang mengaku kaya, namun sebenarnya "teramat sangat miskin". Kemiskinan adalah proyek kakap untuk mengeruk keuntungan. Berapa persen dana BLT yang masuk ke kantong kantong pengelola yang otak dan nuraninya teramat sangat miskin dan berapa persen sisa yang diterima sesuai peruntukan? Berapa persen dana pendidikan yang mampir ke meja pengelolanya, dan berapa persen sisa yang digunakan untuk riil kemajuan pendidikan, dan seterusnya dan seterusnya parade kemiskinan moral dan spiritual yang tercermin dari negeri yang sangat kaya ini.

Aku jadi teringat kampung halamanku, dimana permainan kecil aktor pemeran kemiskinan sudah lahir bahkan dari tingkat yang paling bawah. Ketika Idhul Adha dan Bapakku berqurban, selain sapi yang kita serahkan ternyata disertai dengan permintaan biaya operasional panitia pengelola, bahkan katanya berikut kulit daging hewan tersebut adalah jatah panitia, ya.... bahkan pada saat orang lain rela berqurban pun, mereka masih tega menjadikan itu adalah proyek. Ketika orang tua kami kadang kalo ada rezeki lebih mengundang, menjamu makan dan sedikit membagikan rezekinya bagi anak yatim dan fakir miskin dalam sebuah pengajian di mushola kami, dia berkata karena kalau dibagikan secara langsung, dengan mengeluarkan dana yang sama akan lebih banyak orang miskin yang menerima dibandingkan dengan melalui panitia atau badan badan yang ada. Punten Kang Ian sareng Kang NK, mungkin para penderma itu bukan berniat sombong atau riya, mungkin mereka ingin memberi contoh (Nabi pun pernah melakukan sedekah yang diumumkan untuk memberi contoh buat yang lain), atau mungkin sudah amat sangat tidak percaya dengan stigma "panitia pengelola bangsa ini". Wallahu.....hanya hati mereka para penderma dan Allah lah yang tahu.

Aku kini bertanya, siapa yang patut dipersalahkan atas kemiskina yang melanda bangsa ini? Para fakir miskin yang tetap memelihara kemiskinannya (BLT telah mengubah bangsa ini menjadi bangsa yang sangat bangga mengaku jadi orang miskin), para Kaya yang ttidak peduli sesama, penderma yang salah mendermakan hartanya, sistem pengelolaan yang amburadul, bahkan mungkin seluruh dari komponen bangsa ini? Atau jangan jangan, hanya aku yang salah, yang hanya bisa ngomongin kemiskinan tanpa mampu berbuat apapun ?@#$%^&*()_+?><

6 komentar:

Hadian mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hadian mengatakan...

Menyaksikan perjalanan negeri ini ibarat menonton sepak bola. Ditengah lapangan ada sikut-sikutan, ada sliding tackle, ada body contact dan banyak kecurangan lainnya. Kita sebagai penonton cuma bisa teriak, protes, menghujat, berdo'a lalu kecewa. Kalo kita gak rela dengan segala kecurangan tsb, hanya ada dua cara; ganti baju dengan kaos tim, lalu masuk lapangan ikut bermain atau jadi wasit sekalian. Kita yang kendalikan permainan.

Saya sudah buat blog pribadi; www.ahmadhadian.blogspot.com
Sindang heula atuh sakedap !

Tina Siam mengatakan...

Bener Yan... dimana-mana yang jadi penonton selalu lebih jago dari yang bermain. Kadang-kadang malah strateginya lebih hebat dari ahli strategi Tim..... Tapi untuk menjadi pemain diperlukan lebih banyak tenaga, waktu, keringat, dan pengorbanan.
Salah satu penyebab negeri ini bangkrut adalah karena kita adalah bangsa pemalas, tapi herannya kenapa kita gak ada yang rela ngaku ya? Bukankah dalam Islam sudah sangat jelas, bahwa tangan di atas jauh lebih baik dari tangan di bawah. Coba bila setiap kita berusaha mau memberi, dan berusaha untuk tidak pernah meminta, mungkin keadaan bisa berubah. Mari kita berbuat di tempat mana kita mampu melakukan sesuatu, dengan melakukan sesuatu yang kita mampu... berhentilah mengasihani diri sendiri....

Hadian mengatakan...

Emang Ntin cocok jadi Menteri Kelautan & Perikanan kalau begini mah, tapi ntar kalo aku jadi presidennya ya..!

tong mengatakan...

Sekali lagi aku ngga setuju. Semua punya fungsinya. Bila semuanya ikut bermain, maka siapa yang akan menonton, bila semuanya jadi wasit maka siapa yang bermain. Itulah fungsi dari keberadaan kita. Apa jadinya suatu permainan tanpa penonton? dan jangan salahkan penonton bila menjadi males untuk menonton karena muak menyaksikan pertandingan yang serba curang. Untuk apa mereka membayar harga tiket yang mahal kalo hanya untuk menyaksikan dagelan yang sangat tidak lucu. Wasit dan pemain dapet bayaran, ya dari keberadaan penonton, maka pantas mereka lebih berkeringat dibanding penonton. Buat Tina, siapa bilang bangsa ini adalah bangsa pemales? Bangsa ini justru bangsa pekerja, bahkan pekerja sangat keras. Bagaimana para pemulung dari pagi sampai malem bekerja, petani dari pagi sampai petang, nelayan, tukang ojek, supir, dll. Coba lihat kehidupan mereka? Aku lebih percaya bangsa ini bangkrut karena segelintir manusia serakah yang katanya berjuang demi dan untuk rakyat

nkoswara mengatakan...

Eh kalah ka ribut iraha gelutna yeuh geura deeer atuh! keun sy jd wasitna ......