Tradisi Besar yang Dilupakan
Jumat,
Sumber: http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2008/09/05/ 00153641/ tradisi.besar. yang.dilupakan
Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik
Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihatkan fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain, menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika.
”Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum,” tulis Dick-Read pada pengantar buku terbarunya.
Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut
Jauh sebelum Cheng Ho dan
Tentang hal ini, Oliver W Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara
I-Tsing, pengelana dari
Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di ”jalur sutra” melalui laut— meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary (alm)—sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut
Masyarakat bahari
Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2), mengidentifikasikan nya sebagai orang-orang laut, sedangkan Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih spesifik: orang-orang Bajo atau Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan Selat Melaka, terutama di sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar ke berbagai penjuru Nusantara, dan pada sekitar abad XIV sebagian besar bermukim di wilayah timur Indonesia.
Peran yang dimainkan para pelaut Indonesia pada masa silam tersebut terus berlanjut hingga kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Para penjelajah laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air.
Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global.
Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya maritimnya yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak mematikan, sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.
Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah PBB mengakui Deklarasi Djoeanda (1957) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, tradisi besar itu masih saja dilupakan.
Kini, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan dijumpai di banyak tempat, sementara di sisi lain, kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh siapa.... (KEN)
1 komentar:
sy prnh punya pegalaman yg spr heroik dmn sy pernah berlayar antara pulau slws ke pulau ereke pake kapal kayu ya kira2 12 jam perjalanan, baru masuk selat wawonii gelombang dtg besar banget, banyak pnmpng pd mabuk terutama sy yg plg parah krn capt-nya ngak mau ambil resiko mungkin dia jg dah agk pening dgn alasan demi keamanan sypun diikat pake tambang buritan capt bilang 'bos mau mabok mabok aja sepuas2nya yg penting bos nga bakal kecebur ke laut" kira2 sy masuk katagori pelaut ulung nga .....
Posting Komentar