Kamis, 21 Agustus 2008

PERENUNGAN: Andai esok tak ada lagi waktu....

Alkisah, hiduplah seorang anak yang tumbuh dan besar dalam kasih sayang orang tuanya. Karena kecakapannya dalam segala bidang, ia mampu menempu berbagai jenjang pendidikan dan mampu diterima bekerja di sebuah tempat yang sangat mendukung kemajuan karir dan penghasilannya. Waktu berlalu, kini dia sudah berkeluarga dan menjadi orang tua bagi anak-anaknya. Karena kesibukannya bekerja mencari nafkah, ia menjadi lupa berinteraksi dengan sekitarnya bahkan dengan keluarganya sendiri.

Ketika anak dan istrinya mengajaknya berlibur pada hari libur kerja, dia sedang banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan, sehingga tidak memungkinkannya untuk meluangkan waktu, dia berpikir, ”toh esok masih ada waktu, saya akan mengajak mereka liburan walau ke luar negeri sekalipun”.

Ketika teman-temannya semasa di sekolah mengajaknya kumpul reuni, ketika tetangganya mengajaknya hadir pada acara kenduri, ketika warga sekitarnya mengajaknya gotong royong, dan yang lainnya, ketika itu pula pekerjaan dan tugas kantor lebih penting menghalanginya dari hanya sekedar menghadiri acara reuni, kenduri dan gotong royong. Dia berpikir, ”toh esok masih ada waktu, saya akan menghadiri, bahkan kalau perlu saya akan membiayayi semua acara tersebut”

Ketika tetangganya yang sangat miskin membutuhkan pertolongannya untuk meyekolahkan anaknya, dia tidak bisa menolongnya karena kebetulan saat itu dia sedang sangat perlu uang untuk merenovasi istananya. Dia berpikir, ”toh esok masih ada waktu, saya akan menolong dan membantu orang sebanyak-banyaknya”.

Ketika satu persatu teman-teman, tetanga, bahkan anak dan istrinya meninggalkan dirinya, dia berpikir, ”toh esok masih ada waktu, aku akan berbuat baik pada mereka dan mereka pasti akan kembali padaku”.

Bahkan, pada saat ibunya diberitahu sakit, saat itu ia sedang sangat sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tak memungkinkannya untuk hanya sekedar menengok ibu yang yang telah mengandung dan membesarkannya dengan keringat dan nyawanya, dia berpikir ”toh esok masih ada waktu, saya akan menengok dan membawa ibu ke rumah sakit, besok”. Dia lupa bahwa waktu bukanlah miliknya, sang Ibu meninggal sebelum datang hari esok, sebelum dia sempat berterima kasih atas segala pengorbanan sang Ibu.

Demikian dan terus demikian setiap waktu berlalu, tanpa sedikitpun dia mampu berbuat untuk hari ini, karena di selalu berpikir bahwa esok masih ada waktu. Sampai pada suatu ketika dia sakit sangat parah dan hanya mampu terbaring sendiri dalam kesakitannya, tanpa ada yang mau menolongnya. Saat itu dan hanya pada saat itu dia baru berpikir, ”seandainya esok tak ada waktu, maka aku akan terbebas dari siksaan maha berat hari ini. Namun Tuhan berkehendak lain dengan terus dan terus memberinya hari esok, sehingga semakin menambah panjang penderitannya. Sampai pada akhirnya, dia memutuskan untuk tidak lagi menunggu esok, melainkan memutuskan untuk menyudahinya saat itu.
Sungguh, dia telah mati dalam kenistaan.
(Cerita merupakan hasil edit kembali)

Hari itu, menjelang magrig pada 17 Agustus 2008, disebuah dusun yang senyap, aku menyaksikan tangis haru seorang ibu, seorang nenek yang sangat mencintai cucunya, dalam pelukan erat tangan rentanya, dalam doanya, dalam ketulusan hatinya, melalui saya dia haturkan jutaan terima kasih untuk kita semua, rekan-rekan almamater tercinta yang masih peduli akan nasib penerus puteranya.
Selamat jalan kawan, semoga kami mampu untuk mengasihi putrimu Haifa, seperti keinginanmu mengasihinya, memberikan pendidikan putrimu seperti engkau menginginkan pendidikan buatnya, memberikan kebahagiaan bagi putrimu, seperti kebahagiaan yang engkau inginkan buatnya.
Hari itu aku mendapatkan satu lagi pelajaran hidup, perjalanan panjang dan melelahkanku ke Keresek, terbayar lunas dengan menyaksikan tangis haru mereka. Sungguh, semoga kebahagiaan yang aku peroleh, adalah juga kebahagiaan yang rekan semua rasakan.

0 komentar: