Senin, 09 Februari 2009

Cerita dari SUPM Bogor dan Asramanya di Thn 1989~1992 (PART 1)

Botia: tiga tahun aku tinggal bersama disana......

Tulisan Iis tentang Botia dan kehidupan asrama menggunggah saya juga untuk mengulas kembali masa-masa SUPM.

Wajib tinggal di asrama dengan seabreg peraturannya kadang membuat kami seperti hidup di penjara. Kegiatan yang selalu diawali dengan bangun pagi (subuh) dan berbagai kegiatan mulai dari senam, lari pagi, PLH (Pemeliharaan Lingkungan Hidup) sampai antri mandi pagi (yang ini kadang-kadang terpaksa harus baren-bareng, tapi murni tanpa maksud apa-apa, daripada telat). Sarapan harus berseragam, setelah itu apel pagi yang dilanjutkan belajar (atau ngantuk) di kelas lalu istirahat siang dilanjutkan kegiatan ekskul dan kegiatan setiap harinya ditutup dengan apel malam (yang ini paling saya benci, soalnya jam apel malem adalah jam-jam terberat untuk kesehatan mata saya, hehehe). Belakangan kegiatan-kegiatan di asrama ternyata memang banyak pengaruhnya di kehidupan kami selanjutnya. Saya sungguh bersyukur pernah punya kesempatan tinggal di Botia.

Setelah lulus dan harus meninggalkan asrama bukan perkara mudah. Tidak pernah tergantikan rasanya ketika harus berpisah dengan teman-teman yang sudah seperti keluarga. Maka tangis haru selalu mengiringi kepergian kami satu persatu. Andai kala itu handphone seperti sekarang yang bak kacang goreng gampang didapat, mungkin kita tidak akan kesulitan untuk mencari teman-teman yang banyak “hilang” tak tentu rimbanya.

Setelah tidak tinggal di asrama, justru perasaan ingin tinggal di asrama masih menggoda. Saya saja sudah tidak terhitung berapa kali bermimpi tinggal di Botia lengkap dengan ranjang tingkat serta kasur-bantal lepeknya dan sketer serta penghuninya. Kalau sudah begitu kangen sekali dengan suasana seperti itu, karena selama ini saya juga tidak pernah menemukan pengalaman yang mirip-mirip dengan hidup di Botia.

Bicara soal penghuni Botia tahun kami (mungkin ada kesamaan dengan kakak-kakak yang lain), memang benar menyatukan karakter kami bukan perkara gampang. Tapi seiring dengan waktu kami akhirnya bisa saling mengerti dengan sendirinya. Konflik…? Ada …!! Saya sendiri pernah tidak bertegur sapa sampai berbulan-bulan dengan teman tanpa tahu kenapa. Maklumlah…jiwa yang masih hijau masih belum bisa menyikapi persoalan secara maksimal.(untuk kasus yang ini temenku ini pernah membahas belum lama ini, jadinya…? Lucu aja, tidak pernah ada dendam di antara kami).

Salah satunya kami semua saling mendukung dan bersaing, terutama dalam pelajaran. Saya yang bukan “siswa unggulan” yang tidak rajin belajar suka memanfaatkan teman yang pintar. Biasanya saat-saat ujian semester atau mid semester tiba-tiba saya sangat ingin “mengakrabi” mereka yang pintar dan biasa menghapal dengan keras. Tujuannya adalah supaya saya bisa mendengar apa yang mereka hapal atau diskusikan sehingga saya tidak terlalu banyak membuang energi untuk membolak-balik buku atau literatur cos I’m a good listener (untuk yang ini kayanya temen-temen yang saya manfaatin kadang-kadang eneg juga kali ya…, untuk itu saya minta maaf dan terima kasih….).

Kami juga mendukung teman-teman yang sempat kena her, berempati pada mereka. Begitupula bila ada kawan yang sakit, kepedulian kita sangat diuji di sini, seperti pernah ada seorang teman kami yang sempat di opname di RS PMI, kami dengan sukarela dan suka cita bergantian menjaganya..sekaligus punya kesempatan bisa mangkir dari kegiatan asrama dan cuci mata (cuci mata kok di Rumah Sakit…?)

Kisah-kisah manis lainnya adalah kami tidak pernah kenyang.. selalu kelaparan. Di Belakang Botia pada masa kami ada 2 batang pohon papaya yang sangat kami sayangi, karena buahnya lumayan bisa jadi camilan, meskipun seingat saya buahnya tidak pernah sempat matang, paling-paling hanya sampai tahap mengkal sudah dijolok-jolok.. (waahhh pokoke Gragas tuenan…!).

Kadang-kadang “ketidakkenyangan” kami menyusahkan orang juga. Setidaknya itulah yang dialami oleh tukang nasi goreng (yang lama-lama akhirnya dia Illfeel dan parno kalo lewat dan dipanggil oleh anak asrama). Biasanya kita pasang temen kita yang centil untuk manggil dan “merayu” tukang nasgor itu agar mau menggorengkan nasi yang berlebih dengan bumbu dari dia. Cukup ekonomis, dengan sedikit modal kami yang kelaparan lumayan bisa tidur lebih lelap karena kenyang.

bersambung ke PART 2.......

by: amie '92

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Hm... saya jadi tergugah juga untuk mengingat kembali masa lalu di wisma botia yang penuh kenangan. Amie ada nyindir saya tuh, he..he tapi bener koq tidak ada dendam di hati.