Hari hari belakangan ini kita banyak disibukan dengan tontonan mengenai kemarahan bangsa kita akan negeri tetangga yang telah beberapa kali mengklaim warisan bidaya bangsa kita, mereka dengan "bangga" menjadikan hal itu sebagai bagian dari warisan maha luhur karya nenek moyang mereka. Kita hanya mampu marah semarah-marahnya marah, kita geram, kita tersinggung, sementara para elit lebih banyak diam dengan tetap memperhatikan keserasian dan toleransi bernegara dan bertetangga.
Mari kita sedikit menoleh kebelakang, apa yang telah kita perbuat untuk negeri dan bangsa ini, untuk mampu bangga dengan negeri ini, untuk kita mampu menjaga kedaulatan negeri ini?
Ribuan pulau yang tersebar menjadi satu kesatuan wilayah kedaulatan NKRI, pada kenyataannya sampai saat inipun masih ada yang lupa diberi nama, apalagi untuk membingkainya dalam kesatuan wilayah yang makmur....... Tidak pantas memang negeri tetangga seenaknya mengklaim itu sebagai wilayhnya, namun lebih tidak pantas lagi kita yang membiarkannya begitu saja.
Ratusan ribu TKI, bahkan mungkin jutaan anak negeri ini mengais rejeki di negeri orang, karena sulitnya mengais rezeki dinegeri sendiri. Mereka dengan indahnya diberi gelar sebagai "pahlawan devisa" negeri ini. Namun apa yang kita lakukan untuk mereka, ketika mereka diusir dengan hina, dikejar-kejar, disiksa, dihukum mati bahkan diperkosa? Kita mungkin hanya mampu marah, semarah marahnya marah, tidak lebih.
Ketika kekayaan alam negeri ini telah banyak mengundang bangsa asing untuk ikut serta mencicipinya dengan menjajah, serentak seluruh rakyat negeri ini berontak melawan Inggris, Belanda dan Jepang. Namun ketika seluruh aset negeri ini secara perlahan, sedikit demi sedikit dikuasai oleh asing, kita hanya bisa diam, sediam-diamnya diam. Kita mungkin hanya memiliki sebagian emas, minyak, perak dan lainnya yang ada dalam perut bumi kita. Bahkan kini kita harus membeli air yang kita minum yang mengalir deras dari mata air depan halaman rumah kita........ Kekayaan bangsa ini, yang seharusnya sebesar-besarnya dikuasai oleh negara dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, rasanya kini lebih banyak dimiliki oleh pribadi-pribadi anak negeri bahkan anak tetangga negeri, yang tentunya akan lebih untuk sebesar-besarnya kekayaan sendiri, entah dimanakah letak kedaulatan bangsaku...?
Mungkin begitu ironinya tanah negeri ini, sungguh aku tak habis mengerti;
Sungguh........, betapa negeri tetangga begitu bangganya memiliki adat dan kebudayaan yang notabene milik bangsa kita, sementara kita sepertinya begitu risih untuk memamerkan kebanggan kita pada orang lain.
Sungguh........, betapa negeri tetangga kita amat sangat sayang dengan kekayaan yang melimpah ruah yang kita miliki sehingga mengundang mereka untuk sekedar mencicipi bahkan berkeinginan memiliki, sementara kita bahkan tidak ingat kalau kita memilikinya seandainya tetangga kita tidak mengingatkan. Kita terlalu asyik bicara, kita terlalu asyik berjanji, kita terlalu asyik berwacana, hinga kita lupa untuk beraksi
Sungguh......., entah mau dibawa kemana bangsa yang amat sangat besar ini,,,,?
Terakhir, kita memang pantas untuk marah...., kita memang pantas untuk tersinggung...., kita memang pantas untuk untuk balik menghina, mencela, mencaci, memaki, mengutuk dan segudang macam itu negeri tetangga, namun apalah artinya itu? Mari kita berkaca diri.
Mari kita sedikit menoleh kebelakang, apa yang telah kita perbuat untuk negeri dan bangsa ini, untuk mampu bangga dengan negeri ini, untuk kita mampu menjaga kedaulatan negeri ini?
Ribuan pulau yang tersebar menjadi satu kesatuan wilayah kedaulatan NKRI, pada kenyataannya sampai saat inipun masih ada yang lupa diberi nama, apalagi untuk membingkainya dalam kesatuan wilayah yang makmur....... Tidak pantas memang negeri tetangga seenaknya mengklaim itu sebagai wilayhnya, namun lebih tidak pantas lagi kita yang membiarkannya begitu saja.
Ratusan ribu TKI, bahkan mungkin jutaan anak negeri ini mengais rejeki di negeri orang, karena sulitnya mengais rezeki dinegeri sendiri. Mereka dengan indahnya diberi gelar sebagai "pahlawan devisa" negeri ini. Namun apa yang kita lakukan untuk mereka, ketika mereka diusir dengan hina, dikejar-kejar, disiksa, dihukum mati bahkan diperkosa? Kita mungkin hanya mampu marah, semarah marahnya marah, tidak lebih.
Ketika kekayaan alam negeri ini telah banyak mengundang bangsa asing untuk ikut serta mencicipinya dengan menjajah, serentak seluruh rakyat negeri ini berontak melawan Inggris, Belanda dan Jepang. Namun ketika seluruh aset negeri ini secara perlahan, sedikit demi sedikit dikuasai oleh asing, kita hanya bisa diam, sediam-diamnya diam. Kita mungkin hanya memiliki sebagian emas, minyak, perak dan lainnya yang ada dalam perut bumi kita. Bahkan kini kita harus membeli air yang kita minum yang mengalir deras dari mata air depan halaman rumah kita........ Kekayaan bangsa ini, yang seharusnya sebesar-besarnya dikuasai oleh negara dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, rasanya kini lebih banyak dimiliki oleh pribadi-pribadi anak negeri bahkan anak tetangga negeri, yang tentunya akan lebih untuk sebesar-besarnya kekayaan sendiri, entah dimanakah letak kedaulatan bangsaku...?
Mungkin begitu ironinya tanah negeri ini, sungguh aku tak habis mengerti;
- Ketika sebuah Pemda menjerat beberapa penderma dengan hukum pidana, akau hanya bisa bertanya, apa yang telah mereka lakukan untuk membuiat mereka para pengemis berdaya, sehingga bisa mengatasi laparnya perut mereka tanpa harus menyusahkan penderma?
- Ketika sebuah Pemda berencana melakukan razia kendaraan bermotor yang bukan berasal dari wilayahnya dengan alasan PAD, dimanakah letak salahnya, dimanakah sebenarnya Negara Republik Indonesia berada?
- Ketika Hak apalah namanya atas beberapa pulau kepada individu berkewarganegaraan asing, dimana bahkan orang kita "pemilik sah tanah air bangsa ini" dilarang masuk ke dalam wailayah tersebut. Bahkan kini asyik diperjualbelikan di luar. Masih berdaulatkah bangsa ini?
- Ketika para politisi, cerdik pandai, pejabat asyik berdebat tanpa ujung bicara kemakmuran rakyat, bicara lapangan kerja, bicara wong cilik dan lain sebagainya, disaksikan jutaan pasang mata pengangguran, jutaan rakyat kelaparan, jutaan wong cilik yang selamanya hanya jadi wong cilik.
- Ketika trilyunan rupiah dialirkan untuk menalangi hartanya para debitur berduit, karena "kesalahan individu dan atau organisasi" yang dimaafkan pemerintah dengan alasan keamanan dan stabilitas ekonomi. Sementara ribuan orang di Papua menjerit kelaparan bahkan diantaranya meregang nyawa, ribuan bahkan mungkin ratusan ribu warga Tasik, Ciamis, Garut, Cianjur dan sekitarnya hidup di tenda tenda pengungsian karena runmahnya roboh tertimpa bencana gempa. Betapa aku ingin tertawa, gelinya perilaku bangsaku.
Sungguh........, betapa negeri tetangga begitu bangganya memiliki adat dan kebudayaan yang notabene milik bangsa kita, sementara kita sepertinya begitu risih untuk memamerkan kebanggan kita pada orang lain.
Sungguh........, betapa negeri tetangga kita amat sangat sayang dengan kekayaan yang melimpah ruah yang kita miliki sehingga mengundang mereka untuk sekedar mencicipi bahkan berkeinginan memiliki, sementara kita bahkan tidak ingat kalau kita memilikinya seandainya tetangga kita tidak mengingatkan. Kita terlalu asyik bicara, kita terlalu asyik berjanji, kita terlalu asyik berwacana, hinga kita lupa untuk beraksi
Sungguh......., entah mau dibawa kemana bangsa yang amat sangat besar ini,,,,?
Terakhir, kita memang pantas untuk marah...., kita memang pantas untuk tersinggung...., kita memang pantas untuk untuk balik menghina, mencela, mencaci, memaki, mengutuk dan segudang macam itu negeri tetangga, namun apalah artinya itu? Mari kita berkaca diri.
0 komentar:
Posting Komentar